Tuesday, 22 November 2016

Sejarah Perlawanan Rakyat

PERTEMPURAN LIMA HARI di SEMARANG & PERTEMPURAN PALAGAN AMBARAWA

 1.1  Pertempuran Lima Hari di Semarang
Perlawanan masyarakat Semarang terhadap tentara Jepang atau sering disebut dengan istilah pertempuran lima hari di Semarang diawali dari terbunuhnya Dr. Kariadi seorang dokter muda asal Semarang dan berbagai tindakan anarkis yang dilakukan oleh tentara tahanan Jepang yang coba melarikan diri dari tahanan yang kemudian mengakibatkan kekacauan di sekitar tempat tahanan tentara Jepang. Tentara tahanan Jepang mencoba untuk mengambil alih kembali kota Semarang dari kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal tersebut tentu mengundang amarah masyarakatmenimbulkan perlawanan rakyat Semarang terhadap tentara Jepang di berbagai daerah Semarang.

A.    Perlawanan Pertama
Pada tanggal 14 Oktober 1945, pasukan Jepang yang bersenjata lengkap dengan tiba-iba menyerang dan melucuti 8 orang petugas kepolisian yang sedang menjaga persediaan air minum di Jln. Wungkai. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 18.00 WIB. Tidak lama berselang, tersiar kabar bahwa Jepang telah meracun air minum itu.
Berkenaan dengan adanya berita mengenai peracunan tandon air minum di Jln. Wungkal, seorang dokter muda asal Semarang tergerak hatinya untuk melakukan penelitian mengenai tandon yang sudah di racun tersebut. Beliau bernama Drs. Kariadi yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala laboratorium di RS Purusara Semarang.
Drs. Kariadi segera berangkat ke tandon penampungan air di Jln Wungkal. Diluar dugaan mobil yang ditumpangi bersama sopirnya dicegat oleh sekelompok tentara Jepang. Dr.Kariadi beserta sopir pribadinya ditembak ditempat. Korban baru bisa dibawa ke rumah sakit pukul 23.00. Sayang sekali keadaan sudah sangat parah hingga beberapa saat kemudian beliau menutup mata untuk selama-lamanya.[1]


B.     Gerakan Kilat
Tidak lama setelah gugurnya Drs. Kariadi, masyarakat Semarang dikejutkan oleh serentetan tembakan yang terdengar dengan genjarnya dari arah Jln.Pandanaran. Selang beberapa menit kemudian suara tersebut berhenti dan suasana menjadi kondusif kembali. Barulah diketahui bahwa rentetan suara tembakan tersebut dilepaskan oleh anggota polisi istimewa yang sedang menjaga tahanan Jepang di bekas asrama Sekolah Pelayaran yang terletak sebelah kiri Jln.Pandanaran (sekarang di Jln Erlangga).[2]
Menurut rencana, para tahanan Jepang akan dipindahkan tempatnya. Sebelum dipindahkan, polisi istimewa membuka pembicaraan dengan para pimpinan tahanan Jepang untuk berpidato dan menyuruh anak buahnya apel di lapangan. Sementara itu polisi istimewa menjaga ketat para tahanan dengan formasi melingkar.[3]
Pemimpin tahana Jepang mulai berpidato dengan bahasa Jepang didepan anak buahnya. Dalam pidato tersebut ternyata pemimpin tahanan menyuarakan untuk menyerang para anggota polisi istimewa. Banyak dari mereka yang berteriak-beteriak “Bakero Indonesia” dan berusaha untuk mengambil besi-besi dan potongan kayu dari tempat tidur mereka. Bahkan ada juga yang membawa pistol yang sebelumnya berhasil diselundupkan oleh seorang tahanan Jepang.
            Suasana di tempat tersebut sangat kacau. Meskipun bersenjata, karena jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah tahanan Jepang. Polisi istimewa akhirnya terdesak. Para tahanan mencoba melarikan diri dari berbagai arah dengan mengunakan truk yang seyogyanya digunakan polisi istimewa untuk memindahkan para tahanan ke tempat lain. Namun para tahanan tidak mengenal betul kawasan Semarang, apalagi disaat malam hari.[4]
Tidak lama setelah pemberontakan para tahanan Jepang sekitar jam 03.00 dini hari, Kido Butai telah mengawali gerakannya dan melakukan gerakan kilat untuk menguasai kota Semarang dengan tujuan apa yang mereka namakan “melindungi jiwa orang-orang Jepang. Kido Butai mulai melakukan pemberontakan disaat ia merasa keadaan sudah dalam titik puncakknya karena Kido Butai mendengar bahwa Mayor Jendral Nakamura ditawan oleh para pemuda di Magelang.
            Masyarakat Semarang bangkit serentak menghadapi pasukan Jepang yang sangat agresif pada waktu itu. Mereka sama sekali tidak merasa gentar menghadapi kekejaman para tentara Jepang anggota Kido dari Jatingaleh tersebut. Pada waktu itu, bagi mereka hanya ada satu semboyan “ lebih baik mati berkalang tanah dari pada kehilangan kemerdekaan tanah air.[5]

C.     Penawanan Mr. Wongsonegoro
Karena kuatnya arus serbuan pasukan Jepang yang datang berikutnya, pertahanan para pemuda akhirnya dapat dipatahkan. Bebrapa dari mereka berhasil ditawan. Perlawanan terjadi di berbagai tempat antara lain di pasar Kagok, SirandaSesudah itu tawanan disiksa dengan kejam dan akhirnya dibunuh di dekat Taman Pahlawan.
Pada pagi hari itu juga, di depan rumah sakit Purusara terjadi pertempuran yang sengit. Rumah Sakit diberondong Jepang dengan senapan mesin, hingga seorang pegawai yakni Soedirman tertembak. Sementara itu, korban-korban yang datang dari berbagai tempat kian lama kian banyak, hingga bangsal bedah penuh sesak. Setelah mengepung Purusara, pasukan Jepang selanjutnya bergerak maju menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari. Selanjutnya, pasukan Jepang meneruskan gerakannya untuk membebaskan kembali gedung besar markas Kenpeital. Dari gedung besar, pasukan Jepang kemudian melancarkan tembakan-tembakan kearah gedung Lawang Sewu.[6]
Gedung gubernuran dimana Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro pada waktu itu sedang berada juga telah diserang oleh pasukan Jepang. Bahkan gedung inilah yang sebenarnya menjadi sasaran utama dari gerakan Kido Butai pada tanggal 15 Oktober 1945 dengan maksud untuk menawan Mr. Wongsonegoro.
Pertahanan di gedung tersebut sangat kuat. Dengan serangan pasukan Kido yang paling nekad disertai serangan yang berani mati, gedung tersebut akhirnya baru dapat diduduki pada siang hari. Mr. Wongsonegoro kemudian ditawan di markas Kido Butai di Jatingaleh, bersama istri dan anak-anaknya tetapi di tempat yang terpisah.
Maksud penawanan Mr.Wongsonegoro itu tidak dapat dilepaskan dari penawanan Mayor Jendral Nakamura oleh para pemuda Magelang. Dengan menawan Gubernur Jawa Tengah, ia bermaksud ingin balas dendam. Seperti halnya daerah Semarang Selatan dan Semarang Barat, pada tanggal 15 Oktober 1945 daerah Semarang Timur dan Semarang Utara juga tidak luput dari serangan tentara Jepang.

D.    Jatuhnya Hotel Du Pavilion
Pada 16 Oktober 1945, Jepang menambah kekuatan tempurnya dengan mengikut sertakan orang-orang Jepang yang bukan tentara. Sukarelawan yang bergabung dengan misi Jepang itu sekitar 300. Disisi lain, pasukan-pasukan tempur rakyat Semarang pada hari itu juga telah datang pasukan-pasukan bantuan dari berbagai daerah. Dari daerah Kendal dan Weleri di sebelah barat, dari markas Demak, Kududs, Pati, Tayu dan Purwodadi di sebelah timur, dan dari daerah Ambarawa, Yogya, Magelang, Purwokerto dan Solo dari sebelah selatan.
Pada hari itu tujuan Jepang adalah menyerang kawasan Hotel Du Pavilion (sekarang hotel Dibya Putri), yang dijadikan markas pertahanan oleh para pemuda di bawah pimpinan Martadi. Di sekitar hotel itu, segera berkobar pertempuran yang sangat hebat. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh pasukan Jepang. Di samping Hotel Du Pavilion, pada hari itu pasukan Jepang berhasil pula menguasai Pasar Johar. Kantor Papak dan Kantor Telpon.[7]

E.     Gencatan Senjata yang Tidak Bermakna
Perlawanan bangsa Indonesia melawan tentara Jepang yang sebelumnya dibantu oleh relawan dan pemuda yang didatangkan dari berbagai daerah sekitaran Semarang meskipun kalah juga membuahkan hasil yaitu tertangkapnya sukarelawan Jepang di berbagai daerah dimana terjadi pertempuran.
Menginfasi kemungkinan akibat yang timbul dari perbuatan yang telah mereka lakukan sendiri, pada waktu itu pihak Jepang benar-benar merasa sangat prihatin. Harapan pihak Jepang tertuju pada Mr. Wongsonegoro. Ialah yang dipandang dapat menyelamatkan ratusan orang relawan yang tertangkap.
Semenjak tangal 16 Oktober 1945 malam, mereka telah berusaha menghubungi Mr. Wongsonegoro yang pada waktu itu tengah mendekam dalam tahanan di markas Kido Bitai di Jatingaleh. Namun Mr. Wongsonegoro tidak dapat menjamin akan dapat merealisir tuntutan mereka berupa menyelamatkan relawan dan pengembalian senjata-senjata milik Jepang yang berhasil direbut oleh pemuda Indonesia.[8]
Pada hari itu juga 17 Oktober 1945 Mr. Wongsonegoro kemudian mengeluarkan sebuah maklumat. Sekalipun telah ada maklumat tersebut, semenjak siang hari hinga malam hari, pertempuran masih terus berlangsung. Bahkan bertentangan dengan hasratnya untuk mengadakan gencatan senjata dan mengakhiri pertempuran. Pada hari itu pasukan-pasukan Jepang justru telah memperhebat serangan-serangannya seakan-akan Maklumat dari Gubernur Jawa Tengah tersebut tidak pernah ada.
Pada hari itu, Jepang telah mengeluarkan perintah pada pasukan-pasukannya untuk tetap meneruskan pembersihan di dalam kota Semarang dan menugaskan pasukan-pasukannya untuk mengadakan pembersihan di daerah Poncol dan pelabuhan. Sedangkan pasukan Yamada ditugaskan untuk membersihkan wilayah Gombel dan Srondol.[9]

F.            Misi Mr. Wongsonegoro
Sebagai tindak lanjut dari perundingan mengenai gencatan senjata yang telah dilakukan dengan pihak Jepang pada tanggal 17 Oktober , Mr. Wongsonegoro dan Dr Soekarjo pada hari itu juga pergi ke Ungaran dengan maksud menghubungi tentara Indonesia yang sangat kuat dan menyelidiki keadaan orang-orang Jepang yang ada di daerah itu. Mr. Wongsonegoro juga mengutus wakilnya yaitu Ir. Abdul Muntalib ke daerah kendal.
Para pemuda pejuang di Ungaran, ketika mendengar genjatan senjata, mula-mula mereka marah. Mereka mengajukan pertanyaan mengenai siapa yang sebenarnya menghentikan pertempuran itu. Mr. Wongsonegoro dengan terus terang menjawab bahwa yang menghentikan ialah ia sendiri. Belum puas sampai di situ, mereka juga menanyakan juga mengenai seiapa yang sebenarnya telah meminta penghentian pertempuran itu. Mr. Wongsonegoro juga menjawab, bahwa yang meminta adalah Jepang. Selanjutnya mereka juga bertanya syarat-syaratnya dan Mr. Wongsonegoro dengan terus terang pula mengatakan bahwa syarat-syaratnya akan dibicarakan pada kari beikutnya.
Pada hari Kamis tanggal 18 Oktober 1945, pihak Jepang berhasil mematahkan pertahanan para pemuda di sektor Jatingaleh dan Gombel yang dilakukan oleh pasukan Yamada. Untunglah pada saat yang benar-benar kritis, Allah telah menguurkan tangan-tangan-Nya. Keesokan harinya, tepat pada tanggal 19 )ktober 1945 jam 07.45 pagi, di pelabuhan Semarang telah berlabuh sebuah kapal besar “HMS Glenroy” yang mengangkut tentara sekutu yakni pasukan dari Inggris. Karena kedatangan mereka, kota Semarang telah terlepas dari bahaya maut yaitu di bom oleh Jepang.[10]

G.           Konperensi Hotel Du Pavilion
Sehari setelah tentara Sekutu mendarat di Semarang, di Hotel Du Pavilion diadakan konperensi antara wakil-wakil Pemerintah RI, pihak t entara Jepang dan pihak tentara Sekutu.  Konperensi yang diadakan di Hotel Du Pavilion berlangsung secara kilat tanpa protokol apa-apa. Perintah ‘cease fire” dari tentara Sekutu harus segera dilaksanakan.
Untuk itu dibentuk suatu iring-iringan kendaraan yang bertugas sebagai konvoi perdamaian. Konvoi perdamaian itu segera memulai tugas sucinya dengan menelusuri jalan-jalan di kota Semarang sampai ke bagian yang sepi-sepi. Sekalipun tugasnya belum selesai, mereka memutuskan untuk kembali kepusat konvoi perdamaian di Hotel Du Pavilion.
1.2  Pertempuran Palagan Ambarawa
Di Ambarawa juga terjadi perlawanan bangsa Indonesia terhadap bangsa Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia pasca Proklamasi. Perlawanan masyarakat Ambarawa terhadap tentara Belanda atau sering disebut dengan istilah pertempuran Ambarawa  yang diawali dari terbunuhnya Kolonel Isdiman. Setelah Kolonel Isdiman gugur, selanjutnya dipimpin oleh Kolonel Sudirman. Pertempuran ini berlangsung dalam 4 hari.
Sebelum kemenangannya di Ambarawa, Sudirman memerintahkan Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen di Purwokerto, untuk berangkat ke Ambarawa bersama pasukannya. Pergerakan Isdiman itu diketahui oleh mata-mata militer Belanda. Hingga kemudian Isdiman tewas oleh serangan udara pesawat tempur sekutu. Isdiman tewas dalam perjalanan ke rumah sakit Magelang. Kematian Isdiman justru memicu semangat perang tentara Republik untuk melawan tentara Sekutu. Posisi Isdiman lalu digantikan oleh Letkol Gatot Subroto selaku komandan Resimen Purwokerto.
             Sudirman mulai melakukan perang gerilya terhadap sekutu. Strategi pertama yang dia jalankan adalah menguasai lapangan terbang di Kalibanteng, Semarang. Tujuannya untuk menghambat bantuan gerakan militer Belanda. Pada 11 Desember 1945, pasukan Sudirman melakukan brifing pada beberapa perwira seperti Soeharto. Brifing memutuskan untuk menjepit posisi pasukan sekutu di Ambarawa. Kota Ambarawa lalu diintai seksama oleh pasukan Sudirman. Setiap orang yang keluar masuk Ambarawadipantau untuk mencegah penyusupan mata-mata Belanda.
Selanjutnya diadakan serangan sejak 12 Desember 1945. Serangan ini berhasil menjepit pasukan sekutu yang tidak bisa berbuat apa-apa di Ambarawa. Pertempuran ini terjadi sepanjang siang sampai malam hari dalam beberapa hari. Pertempuran hebat itu memaksa sekutu mundur kearah utara, Semarang, pada 15 Desember 1945. Peristiwa yang disebut Palagan Ambarawa ini lalu dijadikan moment kesuksesan pasukan Republik dalam pergelaran pasukan dalam jumlah besar terhadap tentara asing.[11]
Skema Pertempuran “Sumpit Udang” Jendral Sudirman
Arti nama “Supit Udang”
Supit Udang adalah nama strategi perang yang digunakan oleh Kolonel Sudirman untuk mengusir Sekutu dari Ambarawa. Supit Udang itu sendiri dijadikan oleh Kolonel Sudirman setelah prajurit kepercayaannya yaitu Letkol Isdiman meninggal dunia. Letkol Isdiman meninggal dunia di desa kelurahan Jambu karena terkena serangan bom udara oleh Sekutu saat berangkat menuju Ambarawa. Dari situlah strategi “Supit Udang” muncul. Nama Sumpit Udang berasal dari bahasa pewayangan yang artinya kepungan. Jadi, strategi Supit itu digunakan dengan maksud untuk mengepung Sekutu agar keluar dari bumi Ambarawa. Dan ternyata dengan strategi itu, rakyat Ambarawa berhasil menyingkirkan Sekutu dari Ambarawa.
Pembagian Kelompok Dalam Strategi Sumpit Udang

Kelompok I sebagai”tubuh udang” merupakan induk pasukan dengan jumlah kekuatan terbesar. Mereka bertugas sebagai ujubg tombak. Di dalam kekuatan itu, terdapat empat batalyon yang dipimpin Mayor Soeharto, Mayor Sardjono yang bergerak di kanan jalan, serta Mayor Adrongi dan Sugeng Tirtisewoyo di kiri jalan.
            Kelompok II menempati posisi kaki udang. Pasukan di kiri bergerak dari Jambu ke Bandungan dan Baran, sebagian lagi lewat brongkol terus ke Banyubiru yang nantinya menyerang Sekutu dan lambung pasukan di sektor tenggara. Mereka dipimpin Letkol Bambang Sugeng dari resimen 14 Temanggung dan Letkol Kun Kamdani dari resimen 14/divisi V Purworejo.
            Kelompok III sebagai supit udang juga terbagi dua, menduduki posisi kanan dan kiri, kelompok IV yang menempati ekor udang kebanyakan terdiri atas laskar dan pasukan rakyat yang membantu induk pasukan bila terdesak. Sesuai rencana, penyerangan dilakukan serentak pukul 04.30 pada Desember. Tiga hari pertempuran sekalipun dengan persenjataan tak seimbang ternyata dimenangkan oleh pejuang RI. Dan Nica bersama Sekutu dipaksa angkat kaki oleh rakyat Ambarawa.
Pengepungan Terhadap Sekutu
Gerakan sekutu mundur dari Pingit ke Ambarawa mengalami hambatan karena adanya pengadangan di sepanjang Pingit-Ngipik-Ambarawa. Dengan susah payah dan menimbulkan banyak korban, sekutu berhasil memasuki kota Ambarawa. Selanjutnya bala bantuan pihak Indonesia pun berdatangan dari berbagai daerah ke Ambarawa. Dengan bertambahnya kekuatan pasukan kita, maka diadakan konsolidasi pasukan yang akhirnya berhasil membekuk Markas Pertempuran di Magelang dipimpin oleh Kolonel Iskandar walaupun akhirnya Kolonel Iskandar Gugur.


0

0 comments:

Post a Comment