PERTEMPURAN LIMA HARI di SEMARANG &
PERTEMPURAN PALAGAN AMBARAWA
1.1 Pertempuran
Lima Hari di Semarang
Perlawanan masyarakat
Semarang terhadap tentara Jepang atau sering disebut dengan istilah pertempuran
lima hari di Semarang diawali dari terbunuhnya Dr. Kariadi seorang dokter muda
asal Semarang dan berbagai tindakan anarkis yang dilakukan oleh tentara tahanan
Jepang yang coba melarikan diri dari tahanan yang kemudian mengakibatkan
kekacauan di sekitar tempat tahanan tentara Jepang. Tentara tahanan Jepang
mencoba untuk mengambil alih kembali kota Semarang dari kemerdekaan bangsa
Indonesia. Hal tersebut tentu mengundang amarah masyarakatmenimbulkan
perlawanan rakyat Semarang terhadap tentara Jepang di berbagai daerah Semarang.
A. Perlawanan
Pertama
Pada tanggal 14 Oktober
1945, pasukan Jepang yang bersenjata lengkap dengan tiba-iba menyerang dan
melucuti 8 orang petugas kepolisian yang sedang menjaga persediaan air minum di
Jln. Wungkai. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 18.00 WIB. Tidak lama berselang,
tersiar kabar bahwa Jepang telah meracun air minum itu.
Berkenaan dengan adanya
berita mengenai peracunan tandon air minum di Jln. Wungkal, seorang dokter muda
asal Semarang tergerak hatinya untuk melakukan penelitian mengenai tandon yang
sudah di racun tersebut. Beliau bernama Drs. Kariadi yang pada waktu itu
menjabat sebagai kepala laboratorium di RS Purusara Semarang.
Drs. Kariadi segera
berangkat ke tandon penampungan air di Jln Wungkal. Diluar dugaan mobil yang
ditumpangi bersama sopirnya dicegat oleh sekelompok tentara Jepang. Dr.Kariadi
beserta sopir pribadinya ditembak ditempat. Korban baru bisa dibawa ke rumah
sakit pukul 23.00. Sayang sekali keadaan sudah sangat parah hingga beberapa
saat kemudian beliau menutup mata untuk selama-lamanya.[1]
B. Gerakan
Kilat
Tidak lama setelah gugurnya
Drs. Kariadi, masyarakat Semarang dikejutkan oleh serentetan tembakan yang
terdengar dengan genjarnya dari arah Jln.Pandanaran. Selang beberapa menit
kemudian suara tersebut berhenti dan suasana menjadi kondusif kembali. Barulah
diketahui bahwa rentetan suara tembakan tersebut dilepaskan oleh anggota polisi
istimewa yang sedang menjaga tahanan Jepang di bekas asrama Sekolah Pelayaran
yang terletak sebelah kiri Jln.Pandanaran (sekarang di Jln Erlangga).[2]
Menurut rencana, para
tahanan Jepang akan dipindahkan tempatnya. Sebelum dipindahkan, polisi istimewa
membuka pembicaraan dengan para pimpinan tahanan Jepang untuk berpidato dan
menyuruh anak buahnya apel di lapangan. Sementara itu polisi istimewa menjaga
ketat para tahanan dengan formasi melingkar.[3]
Pemimpin tahana Jepang
mulai berpidato dengan bahasa Jepang didepan anak buahnya. Dalam pidato
tersebut ternyata pemimpin tahanan menyuarakan untuk menyerang para anggota
polisi istimewa. Banyak dari mereka yang berteriak-beteriak “Bakero Indonesia”
dan berusaha untuk mengambil besi-besi dan potongan kayu dari tempat tidur
mereka. Bahkan ada juga yang membawa pistol yang sebelumnya berhasil
diselundupkan oleh seorang tahanan Jepang.
Suasana
di tempat tersebut sangat kacau. Meskipun bersenjata, karena jumlahnya tidak
sebanding dengan jumlah tahanan Jepang. Polisi istimewa akhirnya terdesak. Para
tahanan mencoba melarikan diri dari berbagai arah dengan mengunakan truk yang
seyogyanya digunakan polisi istimewa untuk memindahkan para tahanan ke tempat
lain. Namun para tahanan tidak mengenal betul kawasan Semarang, apalagi disaat
malam hari.[4]
Tidak lama setelah
pemberontakan para tahanan Jepang sekitar jam 03.00 dini hari, Kido Butai telah
mengawali gerakannya dan melakukan gerakan kilat untuk menguasai kota Semarang
dengan tujuan apa yang mereka namakan “melindungi jiwa orang-orang Jepang. Kido
Butai mulai melakukan pemberontakan disaat ia merasa keadaan sudah dalam titik
puncakknya karena Kido Butai mendengar bahwa Mayor Jendral Nakamura ditawan
oleh para pemuda di Magelang.
Masyarakat
Semarang bangkit serentak menghadapi pasukan Jepang yang sangat agresif pada
waktu itu. Mereka sama sekali tidak merasa gentar menghadapi kekejaman para
tentara Jepang anggota Kido dari Jatingaleh tersebut. Pada waktu itu, bagi
mereka hanya ada satu semboyan “ lebih baik mati berkalang tanah dari pada
kehilangan kemerdekaan tanah air.[5]
C. Penawanan
Mr. Wongsonegoro
Karena kuatnya arus serbuan
pasukan Jepang yang datang berikutnya, pertahanan para pemuda akhirnya dapat
dipatahkan. Bebrapa dari mereka berhasil ditawan. Perlawanan terjadi di
berbagai tempat antara lain di pasar Kagok, SirandaSesudah itu tawanan disiksa
dengan kejam dan akhirnya dibunuh di dekat Taman Pahlawan.
Pada pagi hari itu juga, di
depan rumah sakit Purusara terjadi pertempuran yang sengit. Rumah Sakit
diberondong Jepang dengan senapan mesin, hingga seorang pegawai yakni Soedirman
tertembak. Sementara itu, korban-korban yang datang dari berbagai tempat kian
lama kian banyak, hingga bangsal bedah penuh sesak. Setelah mengepung Purusara,
pasukan Jepang selanjutnya bergerak maju menuju ke markas Polisi Istimewa di
Kalisari. Selanjutnya, pasukan Jepang meneruskan gerakannya untuk membebaskan
kembali gedung besar markas Kenpeital. Dari gedung besar, pasukan Jepang
kemudian melancarkan tembakan-tembakan kearah gedung Lawang Sewu.[6]
Gedung gubernuran dimana
Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro pada waktu itu sedang berada juga telah
diserang oleh pasukan Jepang. Bahkan gedung inilah yang sebenarnya menjadi
sasaran utama dari gerakan Kido Butai pada tanggal 15 Oktober 1945 dengan
maksud untuk menawan Mr. Wongsonegoro.
Pertahanan di gedung
tersebut sangat kuat. Dengan serangan pasukan Kido yang paling nekad disertai
serangan yang berani mati, gedung tersebut akhirnya baru dapat diduduki pada
siang hari. Mr. Wongsonegoro kemudian ditawan di markas Kido Butai di
Jatingaleh, bersama istri dan anak-anaknya tetapi di tempat yang terpisah.
Maksud penawanan
Mr.Wongsonegoro itu tidak dapat dilepaskan dari penawanan Mayor Jendral
Nakamura oleh para pemuda Magelang. Dengan menawan Gubernur Jawa Tengah, ia
bermaksud ingin balas dendam. Seperti halnya daerah Semarang Selatan dan
Semarang Barat, pada tanggal 15 Oktober 1945 daerah Semarang Timur dan Semarang
Utara juga tidak luput dari serangan tentara Jepang.
D. Jatuhnya
Hotel Du Pavilion
Pada 16 Oktober 1945,
Jepang menambah kekuatan tempurnya dengan mengikut sertakan orang-orang Jepang
yang bukan tentara. Sukarelawan yang bergabung dengan misi Jepang itu sekitar
300. Disisi lain, pasukan-pasukan tempur rakyat Semarang pada hari itu juga
telah datang pasukan-pasukan bantuan dari berbagai daerah. Dari daerah Kendal
dan Weleri di sebelah barat, dari markas Demak, Kududs, Pati, Tayu dan
Purwodadi di sebelah timur, dan dari daerah Ambarawa, Yogya, Magelang,
Purwokerto dan Solo dari sebelah selatan.
Pada hari itu tujuan Jepang
adalah menyerang kawasan Hotel Du Pavilion (sekarang hotel Dibya Putri), yang
dijadikan markas pertahanan oleh para pemuda di bawah pimpinan Martadi. Di
sekitar hotel itu, segera berkobar pertempuran yang sangat hebat. Pertempuran
tersebut dimenangkan oleh pasukan Jepang. Di samping Hotel Du Pavilion, pada
hari itu pasukan Jepang berhasil pula menguasai Pasar Johar. Kantor Papak dan
Kantor Telpon.[7]
E. Gencatan
Senjata yang Tidak Bermakna
Perlawanan bangsa Indonesia
melawan tentara Jepang yang sebelumnya dibantu oleh relawan dan pemuda yang
didatangkan dari berbagai daerah sekitaran Semarang meskipun kalah juga
membuahkan hasil yaitu tertangkapnya sukarelawan Jepang di berbagai daerah
dimana terjadi pertempuran.
Menginfasi kemungkinan
akibat yang timbul dari perbuatan yang telah mereka lakukan sendiri, pada waktu
itu pihak Jepang benar-benar merasa sangat prihatin. Harapan pihak Jepang
tertuju pada Mr. Wongsonegoro. Ialah yang dipandang dapat menyelamatkan ratusan
orang relawan yang tertangkap.
Semenjak tangal 16 Oktober
1945 malam, mereka telah berusaha menghubungi Mr. Wongsonegoro yang pada waktu
itu tengah mendekam dalam tahanan di markas Kido Bitai di Jatingaleh. Namun Mr.
Wongsonegoro tidak dapat menjamin akan dapat merealisir tuntutan mereka berupa
menyelamatkan relawan dan pengembalian senjata-senjata milik Jepang yang
berhasil direbut oleh pemuda Indonesia.[8]
Pada hari itu juga 17
Oktober 1945 Mr. Wongsonegoro kemudian mengeluarkan sebuah maklumat. Sekalipun
telah ada maklumat tersebut, semenjak siang hari hinga malam hari, pertempuran
masih terus berlangsung. Bahkan bertentangan dengan hasratnya untuk mengadakan
gencatan senjata dan mengakhiri pertempuran. Pada hari itu pasukan-pasukan
Jepang justru telah memperhebat serangan-serangannya seakan-akan Maklumat dari
Gubernur Jawa Tengah tersebut tidak pernah ada.
Pada hari itu, Jepang telah
mengeluarkan perintah pada pasukan-pasukannya untuk tetap meneruskan
pembersihan di dalam kota Semarang dan menugaskan pasukan-pasukannya untuk
mengadakan pembersihan di daerah Poncol dan pelabuhan. Sedangkan pasukan Yamada
ditugaskan untuk membersihkan wilayah Gombel dan Srondol.[9]
F.
Misi Mr. Wongsonegoro
Sebagai tindak lanjut dari
perundingan mengenai gencatan senjata yang telah dilakukan dengan pihak Jepang
pada tanggal 17 Oktober , Mr. Wongsonegoro dan Dr Soekarjo pada hari itu juga
pergi ke Ungaran dengan maksud menghubungi tentara Indonesia yang sangat kuat
dan menyelidiki keadaan orang-orang Jepang yang ada di daerah itu. Mr.
Wongsonegoro juga mengutus wakilnya yaitu Ir. Abdul Muntalib ke daerah kendal.
Para pemuda pejuang di
Ungaran, ketika mendengar genjatan senjata, mula-mula mereka marah. Mereka
mengajukan pertanyaan mengenai siapa yang sebenarnya menghentikan pertempuran
itu. Mr. Wongsonegoro dengan terus terang menjawab bahwa yang menghentikan
ialah ia sendiri. Belum puas sampai di situ, mereka juga menanyakan juga
mengenai seiapa yang sebenarnya telah meminta penghentian pertempuran itu. Mr.
Wongsonegoro juga menjawab, bahwa yang meminta adalah Jepang. Selanjutnya
mereka juga bertanya syarat-syaratnya dan Mr. Wongsonegoro dengan terus terang
pula mengatakan bahwa syarat-syaratnya akan dibicarakan pada kari beikutnya.
Pada hari Kamis tanggal 18
Oktober 1945, pihak Jepang berhasil mematahkan pertahanan para pemuda di sektor
Jatingaleh dan Gombel yang dilakukan oleh pasukan Yamada. Untunglah pada saat
yang benar-benar kritis, Allah telah menguurkan tangan-tangan-Nya. Keesokan
harinya, tepat pada tanggal 19 )ktober 1945 jam 07.45 pagi, di pelabuhan
Semarang telah berlabuh sebuah kapal besar “HMS Glenroy” yang mengangkut
tentara sekutu yakni pasukan dari Inggris. Karena kedatangan mereka, kota
Semarang telah terlepas dari bahaya maut yaitu di bom oleh Jepang.[10]
Sehari setelah tentara
Sekutu mendarat di Semarang, di Hotel Du Pavilion diadakan konperensi antara
wakil-wakil Pemerintah RI, pihak t entara Jepang dan pihak tentara
Sekutu. Konperensi yang diadakan di Hotel Du Pavilion berlangsung
secara kilat tanpa protokol apa-apa. Perintah ‘cease fire” dari tentara Sekutu
harus segera dilaksanakan.
Untuk itu dibentuk suatu
iring-iringan kendaraan yang bertugas sebagai konvoi perdamaian. Konvoi
perdamaian itu segera memulai tugas sucinya dengan menelusuri jalan-jalan di
kota Semarang sampai ke bagian yang sepi-sepi. Sekalipun tugasnya belum
selesai, mereka memutuskan untuk kembali kepusat konvoi perdamaian di Hotel Du
Pavilion.
1.2 Pertempuran
Palagan Ambarawa
Di Ambarawa juga terjadi
perlawanan bangsa Indonesia terhadap bangsa Belanda yang ingin kembali
menguasai Indonesia pasca Proklamasi. Perlawanan masyarakat Ambarawa terhadap
tentara Belanda atau sering disebut dengan istilah pertempuran
Ambarawa yang diawali dari terbunuhnya Kolonel Isdiman. Setelah
Kolonel Isdiman gugur, selanjutnya dipimpin oleh Kolonel Sudirman. Pertempuran
ini berlangsung dalam 4 hari.
Sebelum kemenangannya di
Ambarawa, Sudirman memerintahkan Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen di
Purwokerto, untuk berangkat ke Ambarawa bersama pasukannya. Pergerakan Isdiman
itu diketahui oleh mata-mata militer Belanda. Hingga kemudian Isdiman tewas
oleh serangan udara pesawat tempur sekutu. Isdiman tewas dalam perjalanan ke
rumah sakit Magelang. Kematian Isdiman justru memicu semangat perang tentara
Republik untuk melawan tentara Sekutu. Posisi Isdiman lalu digantikan oleh
Letkol Gatot Subroto selaku komandan Resimen Purwokerto.
Sudirman
mulai melakukan perang gerilya terhadap sekutu. Strategi pertama yang dia
jalankan adalah menguasai lapangan terbang di Kalibanteng, Semarang. Tujuannya
untuk menghambat bantuan gerakan militer Belanda. Pada 11 Desember 1945,
pasukan Sudirman melakukan brifing pada beberapa perwira seperti Soeharto.
Brifing memutuskan untuk menjepit posisi pasukan sekutu di Ambarawa. Kota
Ambarawa lalu diintai seksama oleh pasukan Sudirman. Setiap orang yang keluar
masuk Ambarawadipantau untuk mencegah penyusupan mata-mata Belanda.
Selanjutnya diadakan
serangan sejak 12 Desember 1945. Serangan ini berhasil menjepit pasukan sekutu
yang tidak bisa berbuat apa-apa di Ambarawa. Pertempuran ini terjadi sepanjang
siang sampai malam hari dalam beberapa hari. Pertempuran hebat itu memaksa
sekutu mundur kearah utara, Semarang, pada 15 Desember 1945. Peristiwa yang
disebut Palagan Ambarawa ini lalu dijadikan moment kesuksesan pasukan Republik
dalam pergelaran pasukan dalam jumlah besar terhadap tentara asing.[11]
Skema Pertempuran “Sumpit Udang” Jendral
Sudirman
Arti nama “Supit Udang”
Supit Udang adalah nama
strategi perang yang digunakan oleh Kolonel Sudirman untuk mengusir Sekutu dari
Ambarawa. Supit Udang itu sendiri dijadikan oleh Kolonel Sudirman setelah
prajurit kepercayaannya yaitu Letkol Isdiman meninggal dunia. Letkol Isdiman
meninggal dunia di desa kelurahan Jambu karena terkena serangan bom udara oleh
Sekutu saat berangkat menuju Ambarawa. Dari situlah strategi “Supit Udang”
muncul. Nama Sumpit Udang berasal dari bahasa pewayangan yang artinya kepungan.
Jadi, strategi Supit itu digunakan dengan maksud untuk mengepung Sekutu agar
keluar dari bumi Ambarawa. Dan ternyata dengan strategi itu, rakyat Ambarawa
berhasil menyingkirkan Sekutu dari Ambarawa.
Pembagian Kelompok Dalam Strategi Sumpit
Udang
Kelompok I sebagai”tubuh
udang” merupakan induk pasukan dengan jumlah kekuatan terbesar. Mereka bertugas
sebagai ujubg tombak. Di dalam kekuatan itu, terdapat empat batalyon yang
dipimpin Mayor Soeharto, Mayor Sardjono yang bergerak di kanan jalan, serta
Mayor Adrongi dan Sugeng Tirtisewoyo di kiri jalan.
Kelompok
II menempati posisi kaki udang. Pasukan di kiri bergerak dari Jambu ke
Bandungan dan Baran, sebagian lagi lewat brongkol terus ke Banyubiru yang
nantinya menyerang Sekutu dan lambung pasukan di sektor tenggara. Mereka
dipimpin Letkol Bambang Sugeng dari resimen 14 Temanggung dan Letkol Kun
Kamdani dari resimen 14/divisi V Purworejo.
Kelompok
III sebagai supit udang juga terbagi dua, menduduki posisi kanan dan kiri,
kelompok IV yang menempati ekor udang kebanyakan terdiri atas laskar dan
pasukan rakyat yang membantu induk pasukan bila terdesak. Sesuai rencana,
penyerangan dilakukan serentak pukul 04.30 pada Desember. Tiga hari pertempuran
sekalipun dengan persenjataan tak seimbang ternyata dimenangkan oleh pejuang
RI. Dan Nica bersama Sekutu dipaksa angkat kaki oleh rakyat Ambarawa.
Pengepungan Terhadap Sekutu
Gerakan sekutu mundur dari
Pingit ke Ambarawa mengalami hambatan karena adanya pengadangan di sepanjang
Pingit-Ngipik-Ambarawa. Dengan susah payah dan menimbulkan banyak korban,
sekutu berhasil memasuki kota Ambarawa. Selanjutnya bala bantuan pihak
Indonesia pun berdatangan dari berbagai daerah ke Ambarawa. Dengan bertambahnya
kekuatan pasukan kita, maka diadakan konsolidasi pasukan yang akhirnya berhasil
membekuk Markas Pertempuran di Magelang dipimpin oleh Kolonel Iskandar walaupun
akhirnya Kolonel Iskandar Gugur.
0 comments:
Post a Comment